JAKARTA - Langkah polisi memanggil dua pimpinan media ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri dikritik keras berbagai kalangan. Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara menilai, pemanggilan itu berlebihan. ''Seharusnya polisi mencermati seksama UU Pers,'' ujar Leo di Jakarta kemarin.
Dalam pasal 4 butir (4) Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999 dijelaskan bahwa segala sesuatu menyangkut pemberitaan tidak bisa dikaitkan dengan kasus apa pun. Termasuk pemanggilan jurnalis apakah sebagai saksi atau tersangka. ''Ada mekanisme hak jawab bagi yang merasa keberatan,'' kata Leo.
Dewan Pers akan melakukan pendampingan jika pemanggilan itu menekan kebebasan pers. ''Tentu kami siap. Jurnalis harus tetap memberitakan tanpa perlu takut kepada tekanan pihak mana pun,'' ujarnya.
Pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Bambang Widodo Umar mengungkapkan, pemanggilan media itu terjadi karena polisi kurang tajam menganalisis perkembangan yang muncul belakangan ini. ''Mungkin juga ini semua dilakukan karena ada desakan internal kepolisian untuk mengikutkan media dalam persoalan ini,'' jelas pensiunan polisi itu.
Hal itu mengakibatkan langkah kepolisian tidak padu. ''Seharusnya mereka berkonsentrasi pada penyelesaian kasus Bibit-Chandra terlebih dahulu. Kalau begini, langkah polisi tidak beraturan,'' ucap adik kelas mantan pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto semasa di Akpol itu.
Bambang menambahkan, pemanggilan media itu terjadi karena polisi memiliki koordinasi yang buruk di internal. Terutama Bareskrim dan fungsi yang lain. ''Semacam ini juga menimbulkan keguncangan-keguncangan dan gerak kepolisian menjadi tidak padu," ungkapnya.
Gejala kriminalisasi pers semacam itu sebenarnya beberapa kali ditunjukkan polisi. Salah satu di antaranya, kasus yang melibatkan Irjen Sisno Adiwinoto saat menjabat Kapolda Sulawesi Selatan. ''Saya melihat kepolisian memang kurang memahami Undang-Undang Pers. Ini terjadi karena kepolisian banyak tugas. Polisi seharusnya mengurusi pidana umum saja,'' terangnya.
Yang dia tahu, selama mengajar di PTIK, polisi hanya banyak mempelajari hukum pidana. Akibatnya, persoalan lain yang diatur oleh undang-undang khusus terabaikan. Di sisi lain, kewenangan polisi demikian besar dan bisa menindak semua kejahatan. ''Akibatnya, polisi bertindak seperti manusia super yang bisa menindak segalanya,'' ucapnya.
Pemanggilan pimpinan redaksi harian Kompas dan Seputar Indonesia oleh Mabes Polri juga memicu keprihatinan kalangan parlemen. ''Saya juga heran mengapa polisi terus menimbun masalah baru,'' ujar Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin (20/11).
Dia menilai, pemanggilan tersebut seharusnya tak perlu dilakukan. ''Sebaiknya jangan menggaruk yang tidak gatal karena bisa menimbulkan iritasi baru,'' tambahnya.
Namun, karena sudah dilakukan, Lukman hanya berharap agar Polri bisa menjaga profesionalitasnya. Dia menegaskan, dalih polisi memanggil pimpinan redaksi karena ingin mengungkap tuntas persoalan Anggodo Widjojo harus dibuktikan. ''Sekarang saya berharap agar pemanggilan itu benar-benar sekadar meminta keterangan sebagai saksi, bukan dalam rangka mengkriminalisasi media,'' tandas politikus PPP itu.
Penyesalan senada juga disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman. ''Ini sekali lagi menjadi bahan ujian kehidupan demokrasi di Indonesia. Apalagi, yang saya dengar, orang yang melaporkan itu Anggodo,'' katanya.
Menurut dia, seharusnya, kalaupun ada persoalan dengan media, dicari penyelesaian dengan menggunakan UU Pers. Ada mekanisme hak jawab maupun pelaporan ke Dewan Pers. ''Saya juga tidak tahu mengapa polisi juga mau memproses. Itu menguatkan dugaan bahwa ada sesuatu di Polri saat ini,'' ungkapnya.
Kemarin sekitar 50 jurnalis yang tergabung dalam Poros Wartawan Jakarta berdemo di depan Mabes Polri. Mereka meletakkan kartu identitas peliputan di gerbang dan menggantungkan kamera sebagai bentuk boikot. ''Polisi menjadi antek Anggodo. Hanya karena laporan Anggodo media dipanggil,'' teriak Zul Sikumbang, salah seorang koordinator aksi.
Kadivhumas Polri Nanan Soekarna tak ingin demo itu memanas. Dengan berjalan kaki, Nanan mendatangi pengunjuk rasa. ''Kawan-kawan ini salah persepsi. Kami memanggil media itu justru agar bisa menjerat Anggodo sebagai tersangka. Jadi, plis, bantu kami,'' kata Nanan dengan megafon di tengah-tengah massa aksi.
Menurut Nanan, pemanggilan itu bukan untuk mengkriminalkan pers. ''Justru kami minta bantuan agar kasus ini cepat selesai,'' katanya.
Dalam pemeriksaan, jika ada hal yang rahasia, wartawan boleh menolak menjawab. ''Datang saja. Kalau memang pertanyaannya rahasia, ya tidak usah dijawab. Kalau tidak salah, mengapa takut datang,'' tuturnya.
Kemarin Redaktur Pelaksana Harian Seputar Indonesia Nevi Hetharia datang memenuhi panggilan. ''Saya ditanya empat pertanyaan. Hanya satu soal berita tanggal 4 November terkait rekaman yang diputar di MK," kata Nevi.
Dalam surat yang diterima Nevi, panggilan itu memang berkaitan dengan Anggodo Wijojo. Dalam suratnya, Bareskrim Polri menyebut dua rujukan terkait pemanggilan Kompas. Pertama, laporan polisi No Pol: LP/631/X/2009/Bareskrim Tanggal 30 Oktober 2009 tentang dugaan telah terjadi tindak pidana penyalahgunaan wewenang, pencemaran nama baik, dan fitnah sebagaimana dimaksud dalam pasal 421 KUHP jo 310 KUHP jo 311 KUHP. Diduga, itu merupakan laporan Anggodo karena pada 30 Oktober lalu Anggodo melaporkan KPK terkait beredarnya transkrip rekaman.
Kedua, laporan polisi No Pol: LP/637/XI/2009/Bareskrim Tanggal 2 November 2009 tentang dugaan telah terjadi tindak pidana penyalahgunaan wewenang dan penyadapan melalui media elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 421 KUHP jo pasal 19 ayat (2) UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat jo pasal 47 UURl No.II Tahun 2008 tentang ITE. Diduga, laporan itu merupakan laporan Bonaran Situmeang dan Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Redaktur Pelaksana Kompas Budiman Tanuredjo juga datang. ''Saya tadi ditanya sambil ngopi-ngopi,'' katanya.
Lempar Anggodo
Mabes Polri kembali meminta bantuan KPK untuk menangani kasus Anggodo Widjoyo. Polisi berdalih, KPK sudah melangkah lebih jauh terkait dengan penyadapan untuk penyelidikan Anggoro, kakak Anggodo.
"Bukan kita ngeles (menghindar, Red). Tapi, kalau bisa sinergi, pasti lebih baik," kata Kadivhumas Irjen Nanan Soekarna di Mabes Polri kemarin (20/11). Anggodo saat ini masih berstatus saksi terlapor. "Statusnya banyak, bisa juga disebut calon tersangka, tapi kita perlu tambahan bukti," ujarnya.
Kemarin sekitar pukul 11, Anggodo datang ke Bareskrim. Dia menyatakan hanya mengantar beberapa surat untuk penyidik. "Sudah, tanya polisi saja," katanya malas melayani pertanyaan wartawan.
Menurut Nanan, laporan balik Anggodo soal pencemaran nama baik dan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh KPK adalah haknya untuk ditangani pihak kepolisian. "Siapa pun berhak melapor," katanya.
Polisi, kata dia, menangani kasus itu secara proporsional. "Kita ini ditekan-tekan, kapan Anggodo jadi tersangka. Itu kan tidak bisa langsung," kata alumnus Akpol 1978 tersebut.
KPK, menurut Nanan, punya sumber daya yang bisa menangani kasus itu dengan baik. "Silakan saja. Ketika kita kesulitan bukti, saya harap KPK bisa melakukan upaya lain," ujarnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Check Page Rank of any web site pages instantly: |
This free page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar